Sabtu, 13 Februari 2010

Pengaruh Globalisasi Di Lihat Dari Sisi Negatif Dan Positif

Aspek globalisasi

BEBERAPA ASPEK GLOBALISASI DAN PRULARISME BUDAYA
Oleh : Mangasi sihombing **
_______________
* Disampaikan pada seminar Borsak Sirumonggur Sihombing Lumban Toruan, Jakarta 27 Juni 2008.
* Pertama kali disajikan sebagai bahan kuliah berjudul “Some Thoughts in Conjunction with Globalization and Multiculturalism“ yang disampaikan pada seminar Globalization and Multiculturalism tanggal 28 Maret 2008 di Universitas Debrecen, Hungaria (Lihat pada halaman dan topik tersendiri di bawah ini)
** Mangasi Sihombing menjabat Duta Besar LB&BP untuk Hungaria, Kroasia, Bosnia dan Herzegovina, dan Makedonia, berkedudukan di Budapest.
1. Pendahuluan.
Hingga dewasa ini perhatian publik terhadap globalisasi hanya lebih terfokus pada aspek ekonominya, sedangkan segi politik dan kulturalnya kurang mendapat perhatian. Hal ini terjadi mungkin karena hubungan internasional dewasa ini telah ditandai dengan kehadiran lembaga-lembaga antar–pemerintah yang jumlahnya cukup banyak dan memiliki pengaruh global, dan lagipula masalah-masalah politik dalam hubungan internasional pada umumnya tak mudah diselesaikan. Dipahami bahwa dalam banyak hal masalah-masalah politik dan ekonomi sering saling terkait atau tumpang tindih. Satu hal yang pertama dan mungkin yang menjadi masalah pokok dalam globalisasi politik adalah menyangkut kedaulatan bangsa-bangsa. Kepentingan-kepentingan nasional suatu negara tidaklah selalu selaras dengan negara lain. Percaturan politik internasional nampak didominasi oleh negara-negara yang lebih kuat.
Dalam mengupayakan integrasi global atau keinginan membentuk komunitas dunia maka haruslah diwujudkan penguatan lembaga-lembaga global seperti hukum internasional, prinsip-prinsip dasar hubungan internasional dan organisasi global seperti PBB dan semua badan-badannya yang terkait.
Diatas kerugian negara-negara sedang berkembang, globalisasi dalam pengertian ekonomi dan dagang lebih cenderung menguntungkan negara-negara maju. Dunia Kedua ternyata telah hapus setelah berakhirnya perang dingin dan runtuhnya paham komunisme, dimana negara-negara di Eropa Tengah dan Timur semakin banyak berhasil menempatkan diri pada status Dunia Pertama, yaitu negara-negara maju. Karena itu negara-negara saat ini terkelompok kepada dua lapisan saja yaitu negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Pengembangan pluralisme budaya (multiculturalism) seharusnyalah sejajar dengan multipolarisme karena dalam unipolarisme negara yang dominan cenderung mendikte negara-negara lain (baca negara-negara lemah atau sedang berkembang). Pengembangan supremasi suatu budaya terhadap yang lain dapat memecah belah umat manusia dan kemanusiaan, bahkan benturan peradaban bisa tak terelakkan dengan segala akibat buruknya yang akan muncul.
_______________
* Disampaikan pada seminar Borsak Sirumonggur Sihombing Lumban Toruan, Jakarta 27 Juni 2008.
* Pertama kali disajikan sebagai bahan kuliah berjudul “Some Thoughts in Conjunction with
Globalization and Multiculturalism“ yang disampaikan pada seminar Globalization and Multiculturalism tanggal 28 Maret 2008 di Universitas Debrecen, Hungaria.
** Mangasi Sihombing menjabat Duta Besar LB&BP untuk Hungaria, Kroasia, Bosnia dan Herzegovina, dan Makedonia, berkedudukan di Budapest.
2. Pentingnya Berpegang pada prinsip-prinsip Hubungan Internasional
Tugas pokok PBB sebagai satu diantara forum multilateral yang paling penting adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Pikiran serupa telah diambil oleh bangsa Indonesia sewaktu menetapkanUUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 dimana pembukaan konstitusi mengamanatkan agar negara Indonesia bekerjasama dengan masyarakat internasional “….dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. Ada baiknya mencatat disisi, bahwa Piagam PBB ditetapkan belakangan sesudah UUD 1945.
Konferensi Asia Afrika I di Bandung pada tahun 1955 mengeluarkan sebuah deklarasi tentang 10 prinsip-prinsip yang dikenal hingga sekarang sebagai “Dasa Sila Bandung” sebagai bagian dari etika (code of conduct) melaksanakan hubungan antar-bangsa. Diantaranya adalah penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas negara-negara, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara merdeka lainnya, penyelesaian adil dan damai pertikaian–pertikaian internasional, persamaan semua ras dan bangsa, penghormatan hukum dan kewajiban internasional. Prinsip-prinsip tersebut diterima dan menjadi jiwa dari gerakan Non Blok yang untuk pertama kalinya mencapai puncaknya dalam KTT 1961 di Beograd. Mengingat sifatnya yang universal maka prinsip-prinsip ini memberikan inspirasi bagi organisasi-organisasi internasional dan regional. Dapat dicatat bahwa Dasasila Bandung juga merunjuk kepada Piagam PBB.
Sejarah secara benar mencatat bahwa setiap pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut diatas dan demikian juga atas hukum internasional yang berlaku dan norma-norma peradaban universal telah menimbulkan berbagai masalah yang dalam banyak hal mengakibatkan penderitaan dan kepedihan manusia yang tak tertahankan. Hal ini jugalah yang menjadi alasan kuat bahwa PBB sendiri tidak boleh dan tidak dapat melanggar prinsip-prinsip dimaksud serta hokum yang berlaku sebagaimana ditetapkan oleh Piagam PBB sendiri.
Tentunya upaya negosiasi dan diplomasi merupakan cara terbaik dan lebih adil serta dibenarkan dalam mencari penyelesaian atas pertikaian dan masalah-masalah internasional, yaitu sebagai upaya mencegah ancaman terhadap keamanan dan perdamaian. PBB hanya dapat menggunakan kekuatan sebagai tindakan alternatif terakhir apabila timbul keadaan yang benar-benar merupakan ancaman terhadap keamanan dan perdamaian. Dalam kaitan itu maka penggunaan kekuatan dimaksud tidak hanya ditujukan kepada pemulihan keamanan dan promosi keamanan semata-mata, namun sekaligus juga untuk memelihara hukum internasional, norma dan prinsip-prinsip hubungan internasional.
Dari sudut pandang hukum adalah jelas bahwa PBB tidak memiliki kewenangan atau hak untuk menjungkir-balikkan atau melanggar hukum internasional, dan apabila hal itu terjadi maka supremasi atau kedaulatan hukum jadi kabur dan hapus. Hanya dengan menjalankan komitmen sebagai negara yang taat hukum dan mencintai perdamaian sebuah negara dapat memiliki atau memegang hak keanggotaannya di PBB, mengingat PBB sebagai institusi yang dicanangkan dan ditujukan bagi pemeliharaan perdamaian dan perlindungan serta penegakan supremasi dan kepastian hukum internasional. Jadi jelas PBB menjalankan tugas menegakkan hukum.
3. Dapatkah PBB menjalankan tugas untuk menjalankan keseimbangan kekuatan ?
Kehadiran sebuah organisasi global yang kuat seperti halnya PBB merupakan hal yang ideal, sekalipun secara teori PBB sendiri tidak mencerminkan satu status diatas bangsa negara (supra nasional), namun PBB dalam tugas memelihara keamanan dan perdamaian telah membuktikannya dalam berbagai kasus sebagai institusi yang efektif. Dalam kaitan ini keefektifan PBB menunjukkan PBB sendiri sebagai satu institusi yang handal dan dapat diandalkan dalam pencegahan agressi atau niat melakukan agressi.
Namun demikian untuk menjadikannya lebih efektif maka PBB perlu didemokratisasi dan dimutahirkan atau direkstrukturisasi, khususnya dalam rangka mengatasi masalah-masalah yang berkomplikasi dengan negara-negara besar. Saat ini hanya terdapat 5 buah negara yang menikmati posisi paling berkuasa sebagai anggota Dewan Keamanan PBB dengan hak vetonya. Diantara kelimanya, 4 adalah Negara berlatar belakang budaya barat yang sangat diwarnai oleh Katholikisme, Ortodoksi dan Protestantisme yaitu Amerika Serikat, Inggris Raya, Perancis dan Federasi Rusia. Yang satu lagi adalah China yang memiliki akar kuat dalam Budhisme. Negara-negara dengan budaya besar lainnya adalah ideal masuk dalam Dewan Keamanan PBB, dalam hal ini budaya-budaya Islam dan Hindu. Dilihat dari sudut ini maka Indonesia dan India cocok untuk masing-masing mewakili dunia Islam dan Hindu.
Apabila yang menjadi ukuran untuk masuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan hak veto adalah besarnya jumlah penduduk, maka logis India, Indonesia dan Nigeria layak memperoleh keanggotaan dimaksud. Pilihan atau opsi lain untuk demokratisasi Dewan Keamanan PBB adalah melalui penghapusan hak veto maupun penghapusan keanggotaan tetap. Mungkin, negara-negara bersangkutan akan menolak keras hal ini, namun secara teoritis dapat dilakukan dengan amandemen Piagam PBB, halmana untuk saat ini atau dalam jangka dekat belum nampak kemungkinannya.
Dalam pengertian politis, apabila politik dunia berhasil menelorkan beberapa negara adidaya baru maka keseimbangan kekuatan dapat dicapai, yang berarti adanya multi-polarisme yang tidak harus berarti sebagai bi-polarisme dan struktur berbasis ideologi, mengingat dunia saat ini telah menyingkirkan ideologi dan menggantinya dengan kekuasaan teknologi dan ekonomi. China dan India yang saat ini menunjukkan pembangunan industri yang tinggi dapat menyumbang kepada pemikiran ini, dan mudah-mudahan menjadi kenyataan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Dengan tidak adanya multi-polarisme, PBB dapat menghadapi kesulitan dalam mengintepretasikan Piagam PBB. Dalam hal PBB terkendala atau gagal bertindak melakukan suatu operasi menjaga perdamaian (peace keeping operation), maka beberapa negara besar bertindak dalam operasi militer multi-nasional, yang dalam berbagai contoh dilakukan dengan kerjasama sebuah negara adidaya. Hal serupa ini pada hakekatnya dapat dihindari apabila terdapat multi-polarisme dimana keseimbangan kekuatan ada secara nyata dalam hubungan internasional, dan dimana tak ada sebuah negara adidaya dapat mendiktekan kemauan sendiri terhadap kepentingan bersama negara-negara lainnya.
Adanya multi-polarisme dapat menciptakan proses pengambilan keputusan demokratis di PBB. Dengan mekanisme ini PBB dapat menjalankan peranan besar dalam institusionalisasi keseimbangan kekuatan dalam kerangka PBB, yang sesungguhnya dibutuhkan dunia dalam menghadapi ancaman terhadap keamanan dan perdamaian dunia dan sekaligus untuk memelihara hukum internasional serta norma-norma universal sebagai aturan yang menuntun setiap bangsa, baik besar maupun kecil.
4. Perlunya perkuatan Negara-negara berkembang
Dalam tahun 1997 krisis moneter telah mendera sejumlah negara, salah satu diantaranya Indonesia. Banyak orang mengemukakan bahwa hal tersebut terjadi a.l. karena Indonesia terlalu banyak bersentuhan dengan proses globalisasi, dan juga karena kebijakan moneternya yang terlalu liberal yang disertai dengan fakta bahwa uang telah menjadi komoditi perdagangan yang dapat setiap saat ditransfer ke dalam dan ke luar negeri dalam waktu yang sangat cepat oleh para spekulan yang tak mau tahu soal batas negara. Indonesia adalah contoh yang baik bagaimana rentannya sebuah negara berkembang apabila dihadapkan kepada proses globalisasi yang keras dan tak dapat dibendung dimana para perusahaan transnasional dan berbagai kepentingan asing menjalankan peran dalam ekonomi nasional maupun regional.
Dalam menghadapi proses global Negara berkembang berada pada posisi sulit, namun apabila berada di luar proses maka negara bersangkutan juga dapat jatuh ke isolasi yang tidak diinginkan. Membuka diri lebar-lebar secara penuh terhadap proses globalisasi dalam satu waktu yang singkat cukup berbahaya, tetapi dengan isolasi yang ketat akibatnya sama juga. Karena itu pilihan akhir bagi negara bekembang hanyalah secara bertahap memasuki proses globalisasi. Opsi ini juga sebenarnya merupakan alternatif paling baik bagi negara maju karena kemungkinan negara-negara berkembang bisa jatuh (collapse) karena terjangan arus globalisasi , halmana tidak akan memberikan keuntungan bagi negara-negara maju sendiri.
Kita lihat contoh, bahwa dalam rangka meningkatkan pasar komoditi dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang dibutuhkan peningkatan daya beli pihak negara berkembang. Adalah jelas daya beli hanya dapat ditingkatkan bila kemiskinan berhasil dikikis. Karena itu upaya perbaikan ekonomi, pendidikan dan demokratisasi serta kesehatan di negara-negara berkembang merupakan syarat mutlak yang tak dapat dipungkiri dalam menciptakan dasar bersama bagi kedua pihak demi keuntungan dan kepentingan bersama mereka. Hal ini seyogyanya dipahami bersama, dan itulah yang menjadi alasan bagi adanya praktek nyata pemberian pinjaman lunak, pinjaman komersial dan bahkan pengubahan pinjaman lunak menjadi hibah dari negara-negara maju kepada mitranya negara-negara berkembang. Hal ini tidak dapat dilihat sebagai langkah-langkah atau tindakan filantropis atau bersifat kemanusiaan, melainkan sesuatu yang didasari pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi.
Dalam membangun suatu kemitraan antara negara maju dan berkembang dalam perdagangan bebas (free trade) sebagai satu diantara unsur-unsur globalisasi, maka prinsip give and take atau suatu fleksibilitas akan berlaku karena setiap negara berkepentingan untuk mengamankan kepentingan nasionalnya. Bahkan hal yang sama terjadi antara sesama negara maju mengingat kompetisi senantiasa muncul dalam hal dan untuk produk dan jasa serupa yang mereka hasilkan atau berikan.
Persepsi bersama akan perlunya membangun free trade areas secara bilateral, regional dan internasional pada hakekatnya sudah dimiliki. Namun setiap negara individu, demikian juga wilayah atau region senantiasa memiliki perhitungan dan pertimbangan sendiri mengenai waktu dan cakupan dibagannya suatu free trade area.
Dalam pertumbuhan dan pengembangan organisasi dan kerjasama sub-regional, regional dan antar regional, maka visi dan pengaturan satu pasar bebas atau free trade area nyatanya telah di kombinasikan dengan visi dan pengaturan komunitas sub-region, region dan antar-region. Para organisasi dan kerjasama sub- region dan region ternyata secara bertahap mengarahkan atau sedang dalam proses menuju pembangunan suatu komunitas. Pengaturan berbasis komunitas memfasilitasi arus bebas modal, demikian juga pergerakan atau perpindahan bebas manusia termasuk tenaga kerja, juga barang dan jasa. Untuk saat ini satu model yang paling tepat bagi pengaturan berbasis komunitas adalah Uni Eropa. ASEAN juga sedang menuju ke arah itu dengan 3 pilar pokoknya yaitu sebagai satu komunitas politik dan keamanan, komunitas ekonomi dan perdagangan serta komunitas sosio-kultural. Komunitas Asia Timur (EAC) yang terdiri dari semua negara ASEAN, China, Jepang, Republik Korea, India, Australia dan New Zealand juga sedang dalam proses.
Bilamana semua komunitas sub-regional dan regional ini menjadi kenyataan yang sesungguhnya, maka sebuah komunitas dunia yang terintegrasikan akan dapat dibangun secara aman demi kepentingan semua pihak melalui interaksi yang adil dan fair antara negara-negara dan bangsa dan antara sub- region dengan region.
5. Pengakuan terhadap Pluralisme Budaya.
Tak dapat dibayangkan bagaimana dapat dibentuk suatu komunitas regional ataupun sub-regional tanpa demokrasi dan demokratisasi, tanpa saling pengakuan atau penghormatan terhadap warisan budaya yang satu dengan lainnya, tanpa promosi hak-hak bersama, dan tanpa kedaulatan dan kepastian hukum dan ketertiban, atau ringkasnya tanpa pradaban yang tinggi dan maju.
Dewasa ini, jika tidak semuanya maka sebagian negara bersifat multi-agama dan multi–etnik. Banyak negara menyukai dan menghargai bahasa-bahasa lokal di dalam negeri dan memandang bahasa-bahasa ini sebagai kekayaan budaya yang harus dilestarikan, tanpa memandang besar-kecilnya jumlah pemakai bahasa bersangkutan. Pengakuan atas dan pelestarian kekayaan budaya tersebut, baik dalam pengertian keragaman etnisitas, bahasa dan agama, yang semuanya selaras dengan konvensi-konvensi internasional yang berlaku seperti International Convention on Economic, Social and Culture (ICESC) dapat menyumbang bagi perkuatan hidup berdemokrasi dan keutuhan serta kohesi nasional.
Kerjasama regional dan sub-regional ternyata dapat dibangun antara negara-negara dengan latar belakang yang berbeda, baik ras, bahasa, agama, ideologi maupun bentuk-bentuk budayanya. Demikian pula integrasi tidaklah harus selalu diartikan sebagai dalam satu ras, satu bahasa dan satu agama. Berada dalam satu komunitas berarti orang atau warga harus dapat saling mengakui atau menerima. Karena itu dalam komunitas apapun maka diskriminasi dengan alasan apapun tidak dapat ditolerir, tetapi toleransi beragama harus dipromosikan, kalau tidak maka komunitas bersangkutan terancam buyar dan pecah.
6. Dialog Lintas–Agama dan Kerjasama Budaya
Sebagaimana sebelumnya telah disebutkan bahwa setiap negara mencerminkan kekayaan warna budaya termasuk agama. Karena itu toleransi diantara penganut agama yang berbeda sangat penting bagi keutuhan bangsa atau negara bersangkutan. Sebagaimana Indonesia merupakan contoh baik dari negara yang multi-etnik dan budaya, maka dialog lintas-agama telah lama terjadi di kalangan tokoh-tokoh agama dan antara wakil-wakil pemerintah dengan tokoh-tokoh komunitas agama.
Sejak beberapa tahun lalu peraktek dialog lintas-agama ini telah diangkat oleh Pemerintah Indonesia kedalam konteks hubungan bilateral bahkan pada tingkat regional yaitu ASEAN-Asia Pasifik, demikian juga pada tingkat antar-region seperti ASEM Interfaith Dialogue and Cultural Cooperation.
Dalam rangka pengelolaan proses dialog lintas-agama secara berkelanjutan, maka Indonesia dengan dukungan kuat negara-negara sahabat telah mendirikan “The Jogyakarta International Center For Interfaith Dialogue and Cultural Cooperation” dengan kantor pusatnya berkedudukan di Jogyakarta. Prakarsa Indonesia dalam menjalankan dan mempromosikan dialog lintas-agama dalam agenda diplomasinya telah tercermin juga dalam prakarsa-prakarsa regional lainnya, bahkan PBB sendiri telah melaksanakan serangkaian seminar internasional mengenai topik yang serupa.
7. Bagaimana Pemuda Indonesia menyikapi Perkembangan ini ? *
Untuk pertanyaan ini, penulis mencoba membuat batasan mengingat judul makalah ini mencakup masalah yang luas. Untuk praktisnya adalah bagaimana menyikapi pembentukan komunitas-komunitas yang mencakup Indonesia yaitu komunitas ASEAN dan EAC (East Asia Community). Seperti disinggung dalam uraian diatas dalam pembentukan komunitas sub-regional, regional dan yang lebih luas maka pergerakan modal, barang dan manusia akan semakin besar.
Banyak hal-hal positif dari hal tersebut apabila dapat diberikan respons yang baik, sebaliknya kegagalan dalam menyikapi atau membuat respons seimbang dapat membawa malapetaka. Dalam kaitan ini pertama perlu dibedakan pengertian komunitas antar-negara dengan kawasan bebas dagang atau free trade area. Komunitas antar-negara lebih luas dari free trade area, atau free trade area merupakan satu komponen komunitas dimaksud.
Pergerakan modal, barang, jasa dan manusia dalam komunitas negara atau bangsa pada hakekatnya akan menguntungkan apabila negara atau bangsa bersangkutan stabil terutama secara politik dan keamanan. Penanam modal dari negara sahabat tidak akan masuk ke dalam satu negara yang terus-menerus bergejolak atau bergolak secara internal, bahkan dalam situasi yang demikian modal asing akan angkat kaki ke negara lain. Kita lihat satu contoh, dengan adanya aksi-aksi terror dan kekerasan lain di suatu negara maka arus masuk modal asing menjadi lamban dan terus menurun. Kita saksikan bersama di negeri ini bahwa aksi teror lebih banyak karena toleransi beragama belum sepenuhnya berjalan sebagaimana diharapkan. Karena itu pemuda perlu ikut berperan dalam memadu kerukunan beragama.
Dalam menyongsong perwujudan komunitas ASEAN ataupun EAC kita berharap arus modal asing akan semakin meningkat. Apakah pemuda kita sudah siap sebagai skilled labour, tenaga terlatih untuk memanfaatkan hal tersebut ? Apabila tidak siap, nanti mereka menjadi penonton saja. Apalagi dengan akan masuknya tenaga-tenaga terlatih dari luar negeri maka bisa jadi pemuda kita akan tergilas posisinya. Ada contoh di kawasan Eropa, Hungaria dengan income perkapita US $ 17.000. Orang Hungaria tak dapat ditolak untuk mencari pekerjaan di negara-negara anggota UE (Uni Eropa) lainnya, namun dibandingkan dengan tenaga dari negara lain keterampilannya masih kurang sehingga belum banyak mendapatkan kesempatan, kecuali untuk jenis-jenis pekerjaan kasar.
_____________
* Bagian ini khusus ditulis atas permintaan Panitia Seminar Borsak Sirumonggur Sihombing Lumban Toruan, Jakarta 27 Juli 2008
Dalam rangka komunitas ASEAN maupun EAC tentunya tenaga kerja terampil Indonesia dapat memperoleh pekerjaan di semua negara terkait termasuk negara-negara maju seperti Republik Korea (Korsel), Jepang, Singapura dan Malaysia. Modal pengusaha Indonesia-pun dimungkinkan ikut bergerak kemanca negara atau komunitas bersangkutan. Jadi peluang akan banyak, apalagi nanti pada satu ketika integrasi global atau komunitas global menjadi kenyataan dalam jangka panjang. Modal-modal yang bergerak ke dalam dan keluar negeri dimungkinkan juga dalam jumlah kecil, tidak perlu harus modal besar seperti perusahaan-perusahaan raksasa transnasional. Pemuda atau pengusaha muda Indonesia dengan modal terbatas juga akan memungkinkan bergerak di luar negeri, dan sebaliknya. Hal-hal tersebut akan menjadikan persaingan menjadi semakin ketat.
Keterampilan teknis dan kemampuan bahasa asing penting dimiliki untuk dapat bersaing di pasar tenaga terlatih, kalau tidak, pemuda hanya akan bisa menjadi buruh biasa dengan upah yang lebih rendah. Hal ini berlaku untuk pasar tenaga kerja di dalam dan di luar negeri.
8. Kesimpulan
Sebenarnya hidup dalam kerjasama antara rakyat negara-negara merupakan pengakuan bahwa upaya mencapai tingkat hidup yang lebih baik dan lebih aman akan lebih efektif dan berhasil jika dilakukan secara bersama-sama. Hal tersebut berarti hidup sendirian atau dalam isolasi lebih banyak kesulitannya dan juga sulit untuk bertahan.
Pengakuan akan kelemahan sendiri memaksa orang untuk bekerjasama, dan bentuk-bentuk kerjasama akan menumbuhkan demokrasi dan saling pengakuan hak-hak. Adalah pasti bahwa kerjasama antara rakyat dan negara-negara pada tingkatan apa saja yang memungkinkan akan memperkuat demokrasi di seantero dunia serta promosi hak azasi manusia dan peradaban berkesinambungan.
Demokratisasi hubungan-hubungan internasional dapat mencegah hegemoni kekuasaan, dan sekaligus membuka lebar kesempatan bagi rakyat dan negara-negara berkembang untuk mencapai kesejahteraan dan standar hidup internasional, yang semuanya penting sebagai dasar tangguh bagi perdamaian universal abadi dan keamanan global bersama untuk setiap individu.
Pembentukan komunitas sub-regional dan regional merupakan jalan yang lebih aman menuju globalisasi penuh dimana negara-negara berkembang memperoleh kesempatan untuk terlebih dulu memperkuat struktur ekonomi dan perdagangannya untuk dapa t mengurangi dampak negative globalisasi. *

Globalisasi





14 Februari 2010

Dampak Positif
a. Perubahan Tata Nilai dan Sikap
Adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional.
b. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.
c. Tingkat Kehidupan yang lebih Baik
Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Dampak Negatif
Dampak negatif modernisasi dan globalisasi adalah sebagai berikut.
a. Pola Hidup Konsumtif
Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
b. Sikap Individualistik
Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial.
c. Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
d. Kesenjangan Sosial
Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial.

Globalisasi

Globalisasi
Penulis : RP Borrong
Istilah Globalisasi, pertama kali digunakan oleh Theodore Levitt tahun 1985 yang menunjuk pada politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan. Menurut sejarahnya, akar munculnya globalisasi adalah revolusi elektronik dan disintegrasi negara-negara komunis. Revolusi elektronik melipatgandakan akselerasi komunikasi, transportasi, produksi, dan informasi. Disintegrasi negara-negara komunis yang mengakhiri Perang Dingin memungkinkan kapitalisme Barat menjadi satu-satunya kekuatan yang memangku hegemoni global. Itu sebabnya di bidang ideologi perdagangan dan ekonomi, globalisasi sering disebut sebagai Dekolonisasi (Oommen), Rekolonisasi ( Oliver, Balasuriya, Chandran), Neo-Kapitalisme (Menon), Neo-Liberalisme (Ramakrishnan). Malahan Sada menyebut globalisasi sebagai eksistensi Kapitalisme Euro-Amerika di Dunia Ketiga.
Secara sangat sederhana bisa dikatakan bahwa globalisasi terlihat ketika semua orang di dunia sudah memakai celana Levis dan sepatu Reebok, makan McDonald, minum Coca-Cola. Secara lebih esensial, globalisasi nampak dalam bentuk Kapitalisme Global berimplementasi melalui program IMF, Bank Dunia, dan WTO; lembaga-lembaga dunia yang baru-baru ini mendapat kritik sangat tajam dari Dennis Kucinich, calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, karena lembaga-lembaga itu mencerminkan ketidakadilan global.
Program-program dari lembaga-lembaga itu telah menjadi alat yang ampuh dari kapitalisme Barat yang mengguncangkan, merontokkan dan meluluh-lantakkan bukan hanya ekonomi, tetapi kehidupan negara-negara miskin dalam suatu bentuk pertandingan tak seimbang antara pemodal raksasa dengan buruh gurem. Rakyat kecil tak berdaya di negara-negara miskin, menjadi semakin terpuruk dan merana.
Jadi walaupun ada dampak positif globalisasi seperti misalnya hadirnya jaringan komunikasi dan informasi yang mempermudah kehidupan umat manusia, ditinjau dari sudut kepentingan masyarakat miskin, globalisasi lebih banyak dampak negatifnya. Kita melihat aspek negatif itu dalam ketidak-adilan perdagangan antar-bangsa, akumulasi kekayaan dan kekuasaan di tangan para kapitalis negara-negara maju yang mengakibatkan kemelaratan yang tak terbayangkan di negara-negara miskin, termasuk di Indonesia. Menurut Kucinich, Negara-negara miskin telah diperas lewat pembayaran beban utang ke lembaga global . Dicontohkan, setiap tahun 2,5 miliar dolar AS dana mengalir dari sub-Sahara Afrika ke kreditor internasional, sementara 40 juta warga mereka kurang gizi.
Respons
Saya tidak bermaksud membicarakan artiglobalisasi yang sangat luas ini. Saya hanya ingin menekankan bahwa sebenarnya kita tidak bisa begitu saja latah berbicara tentang globalisasi kalau kita tidak mengetahui secara persis apa yang kita maksudkan dengan istilah itu. Kini istilah globalisasi telah mencakup pengertian yang menggambarkan sutau proses atau gerakan multi-dimensi yang bersifat simultan, terutama dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Walaupun demikian globalisasi terutama nampak dalam gerakan ekonomi-moneter yang membuat dunia semakin menyatu dan membawa dampak positif maupun negatif bagi kemanusiaan. Karena itu, saya ingin menekankan pada saat ini bagaimana respons iman kristiani terhadap dampak globalisasi baik yang positif maupun yang negatif.
Dari sudut positif, kita harus mampu memberdayakan diri kita sebagai masyarakat untuk memanfaatkan peluang dari arus globalisasi, misalnya dalam hal kemampuan bersaing dalam perdagangan bebas, tentu saja sesuai dengan nilai-nilai luhur, seperti kejujuran dan akuntibilitas di atas dasar keadilan dan kebenaran. Dua kata ini dalam konsep agama, misalnya dalam Alkitab selalu mempunyai makna yang sama: keadilan dan kebenaran Allah adalah Allah sendiri. Dua nilai ini penting dalam menyikapi dan menyiasati arus globalisasi, sebab gejala persaingan dunia bisnis di arena globalisasi ini semakin dilanda oleh ketidakjujuran sebagai akibat persaingan yang semakin ketat.
Globalisasi tidak hanya terkait dengan masalah ketidak-adilan ekonomi, tetapi ibarat kanker, telah menjalar dan menyusupi semua aspek kehidupan umat manusia. Bukan saja masalahnya adalah persoalan ketidak-adilan dalam bidang ekonomi moneter, tetapi globalisasi telah menimbulkan begitu banyak masalah, dengan kemajuan yang luarbiasa di bidang informasi dan interaksi manusia. Stackhouse menyebutkan adanya tiga dewa globalisasi yaitu dewa Mammon (materialisme), Mars (perang/kekerasan) dan Eros (pornografi). Tiga dewa ini seringkali berkolaborasi dalam kehidupan etika dan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga etika dan kemanusiaan pada umunya tidak bermakna lagi sebagai norma kehidupan.
Materialisme misalnya, telah menciptakan "malaekat" pembangunan yang mendorong orang ingin terus berproduksi dan mengonsumsi supaya materi semakin menguasai kehidupan kita. Dewa Mammon mungkin dapat dianggap sebagai dewa tertinggi dari dewa-dewi ini karena dialah yang paling berjasa melahirkan dua dewa lainnya, bahkan masih banyak lagi dewa-dewi globalisasi yang sedang lahir dan bermunculan, misalnya dewa Hedonisme dan dewa Konsumerisme.
Mammonisme telah menjadi dewa yang paling menguasai umat manusia. Sekarang ini materi seolah telah menjadi ukuran segala sesuatu. Apa saja harus dibeli dan bisa di beli. Mereka yang tidak bisa dibeli dan membeli adalah ateis yang tak bertuhan. Dalam masyarakat mammonistik, agama resmi tinggal menjadi formalistik dan seremonistik. Nilai agama itu telah diganti menjadi nilai Mammon, nilai uang. Tanpa uang Anda tidak bisa menikmati sesuatu dan tanpa nikmat hidup menjadi seolah hampa. Itulah hedonisme, suatu bentuk kehidupan yang mengagungkan kesenangan dan kenikmatan belaka. Membeli dan dibeli, menikmati dan dinikmati, itulah tujuan hidup mammonisme yang telah menyingkirkan semua tujuan hidup lainnya. Akibatnya, hubungan kemanusiaan tidak lain dari hubungan materi. Tanpa materi, hubungan dengan sesama manusia seolah tidak bernilai. Hubungan kemanusiaan seolah hanya ditandai dengan "transaksi".
Baru-baru ini, seorang teman di Belanda menulis kepada mitra kerjanya di Indonesia dengan kata-kata yang sangat dalam menggambarkan situasi ini. "Janganlah hubungan kemitraan kita dilihat seperti sebuah transaksi perbankan sehingga seluruh relasi diukur hanya dengan sejumlah cash". Pernyataan itu sungguh menggugah rasa kemanusiaan kita di arus kuat globalisasi dengan dewa Mammon-nya. Kiranya seluruh relasi kemanusiaan kita perlu dievaluasi dan direnungkan kembali sesuai dengan nilai-nilai luhur agama.
Keserakahan
Dewa Mars adalah dewa yang kedua, yang merajalela. Perang hanyalah salah satu wujud dari simbol Mars yang sesungguhnya. Mars adalah dewa kekerasan dalam mitologi Yunani. Keperkasaannya selalu menjadi momok baik bagi dewa lain maupun bagi manusia, karena kebengisan yang tercermin dari wajahnya. Bukankah teror yang sekarang ini menjadi kata terpopuler di dunia menjadi wujud paling nyata dari dewa Mars globalisasi? Kekerasan di mana-mana, teror di mana-mana, bukan hanya dalam bentuk bom yang meledak di mana-mana, tetapi dalam bentuk lain seperti perampokan, pembunuhan, penculikan dan semua bentuk kekerasan yang seolah sah dan wajar dalam kehidupan manusia masa kini.
Kekerasan bukan hanya terhadap sesame manusia tetapi juga terhadap lingkungan hidup kita. Kalau kita misalnya merenungkan peristiwa banjir bandang dan longsor yang menelan ratusan korban di Sumatera Utrara, maka nyatalah bahwa itu terjadi sebagai akibat kekerasan manusia terhadap alam. Perambahan hutan sebagai salah satu bentuk kekerasan manusia terhadap lingkungan telah membawa akibat yang sangat fatal.
Dewi Eros sesungguhnyalah pembawa cinta dan damai dalam hidup manusia. Tetapi kini, erotisme seluruh dunia merupakan anak kandung dari mammonisme yang menghalalkan segala cara mendapatkan uang. Cyber-porno merupakan salah satu bisnis mengeksploitasi umat manusia demi uang. Kalau ia hanya menjadi bisnis, mungkin tidak terlalu menjadi persoalan. Tetapi pornografi telah merusak moral banyak manusia di dunia dengan penggambaran-penggambaran yang tidak sehat dan tidak mendidik. Apa yang ditonjolkannya hanyalah hedonisme dan kekerasan. Inilah dampak globalisasi yang menyusup melalui komunikasi dan informasi di dunia maya yang melahirkan dewa baru bernama Eros. Pemujuaan terhadap seks di dunia maya ini membawa nilai baru dalam hubungan rumah tangga, hubungan laki-laki dan perempuan dan hubungan antar- manusia seolah tanpa penghormatan terhadap gender.
Pada suatu siang, dua remaja yang sedang cekikikan di depan monitor komputer memanggil semua saudara mereka sejumlah 6 orang, laki-laki dan perempuan remaja dan anak-anak berusia 8 tahun. Apa yang mereka tertawakan dengan nikmat? Gambar hati tertembus (maaf) penis, yang baru saja diterima dari seorang rekannya. Tidak ada dunia yang tidak dilanda pornografi, mulai dari internet sampai kepada tampilan handphone yang mini bisa menjadi ajang menikmati pornografi. Dewi Eros (erotica) tak pelak lagi menjadi dewi yang397aling berkuasa di era globalisasi saat ini.
Rupanya memang telah terjadi pergeseran paradigma dalam soal agama. Agama lama yang masih formal diakui umat manusia dan Allah atau Tuhan yang benar, sedang dimarginalisasi oleh dewa-dewi baru, yang ternyata lebih menarik dan lebih meyakinkan banyak manusia di dunia. Materi, kenikmatan, kekerasan dan erotisme sedang menguasai sanubari kita dan ternyata semua itu tidak membuat kita menjadi manusia bebas melainkan menjadi manusia yang semakin terpenjara dan terbelenggu. Karena itu, globalisasi dalam bentuk dewa-dewi baru itu tidak lebih dari dewa-dewi palsu (pseudo-lords) yang menyesatkan; yang karenanya seharusnya diwaspadai dan disiasati.supaya tidak memerangkap kehidupan kita. Kita harus kembali memberi tempat pada Tuhan yang asli dalam kehidupan kita, dalam relasi-relasi kita, baik relasi dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan hidup kita. Dengan memberi tempat pada Tuhan yang asli dalam sanubari kita, maka relasi-relasi kemanusiaan kita yang asli dan hakiki akan pulih dan akan memberikan kebebasan dan kemerdekaan yang sejati kepada kita.
Dengan mengembalikan Tuhan bertahta dalam hidup kita, maka dewa-dewi globalisasi yang destruktif akan menyingkir dari kehidupan kita. Kita harus mensyukuri keberadaan kita sebagai orang beragama dan ber-Tuhan, karena selalu tersedia kesempatan untuk mengelakkan diri dari pengaruh buruk globalisasi dengan pendampingan dari agama asli yang kita yakini.
Kita sedang merayakan nikmat ibadah Puasa yang sedang dijalani oleh umat Islam di seluruh dunia. Kita menghargai nikmat Allah ini sebagai salah satu wadah yang diberikan Tuhan untuk mengevaluasi pengaruh materi, emosi dan seks dalam hidup kita, sehingga mampu mengendalikan diri dan tidak dikuasai. Itulah hakikat keberagamaan yang dapat menjadi salah satu wadah mengalahkan godaan globalisI